Terinspirasi
dari kuliah Filsafat Ilmu oleh Pak Prof. Dr. Marsigit, M.A pada Kamis, 2
Oktober 2014
Saya
baru mempelajari mata kuliah Filsafat Ilmu beberapa hari, sebelumnya saat S1
dulu saya tidak pernah belajar Filsafat Ilmu. Saat pertama kali masuk mata
kuliah Filsafat Ilmu, saya cukup kaget dengan cara mengajar Pak Marsigit. Beliau
begitu berbeda dengan dosen kebanyakan. Dari cara berbicaranya dan bertingkah
laku. Apalagi saat membuka blog beliau, luar biasa. Tulisan-tulisan beliau
begitu bermacam-macam dan banyak. Belum lagi satu hal, sulit dipahami.
Pak
Marsigit bernah berkata, ”Berfilsafat itu adalah ketika seorang mahasiswa
membaca elegi-elegi sekaligus membuat komentar. Karena dengan membaca dan
membuat komentar, secara tidak langsung akan memberi arti dalam belajar
filsafat”
Berusaha
sekeras apapun memahami filsafat, sulit sekali. Karena ternyata jangan berusaha
memahami filsafat, tidak akan bisa. Tidak akan bisa menyamai persepsi tentang
filsafat antara satu manusia dengan manusia lain. Karena filsafat itu ada dalam
diri dan pikiran masing-masing. Jika ingin memahami filsafat, maka pahamilah
diri dan pikiranmu sendiri.
Pak
Marsigit tidak mau menerangkan secara langsung tentang maksud elegi-elegi yang
beliau tulis di blognya karena menurut beliau hal ini akan menjadi berbeda
fungsinya. Beliau khawatir mahasiswanya akan tertimpa bayang-bayangnya. Mahasiswa
menjadi tidak independent, tidak mandiri, tidak mampu membangun filsafat. Karena
filsafat adalah pikiran setiap manusia. “Bagaimana mengandaikan pikiranmu
kepadaku”.
Suatu
hari saat sedang kuliah Filsafat Ilmu, salah seorang teman bertanya tentang
hubungan kontradiksi antara orang tua dengan anaknya. Kontradiksi meliputi yang
ada dan yang mungkin ada. Manusia tidak akan pernah terbebas dari kontradiksi. Jika
ingin terbebas dari kontradiksi, hiduplah dalam pengandaian atau cepat-cepat
menuju akhirat. Belajar filsafat meminta kita untuk sensitif terhadap ruang dan
waktu. Manfaat belajar filsafat adalah memahami bahwa hidup ini kontradiksi.
Pertanyaan
teman ini mengingatkan saya tentang kedua orang tua saya yang sekarang terpisah
jarak, berbeda ruang dan waktu yang dengan saya. Ah saya begitu kangen dengan beliau-beliau. Teringat
lagi saat-saat kebersamaan bersama kedua orang tua. Maklum saja, ini kali
pertama saya hidup jauh dari orang tua. Ini pertama kalinya saya merantau ke
negeri orang.
Awalnya,
saya pun sering mengalami kontradiksi dengan kedua orang tua. Apa yang saya
inginkan, sering kali berbeda dengan keinginan kedua orang tua. Apa yang saya
pikirkan, berbeda dengan pikiran kedua orang tua. Kadang saya akui, saya masih
terlalu kekanak-kanakan dan belum dewasa saat menghadapi orang tua saya. Saya masih
egois dan belum bisa berpikir kedepan. Saya selalu merasa bahwa hidup saya
adalah hidup saya, bukan hidup kedua orang tua saya.
Namun
waktu adalah pak tua yang cuma diam mengamati, angkuh memegangi bandul yang
detiknya tak berkompromi. Kata-kata Dewi Lestari itu meyadarkan saya, kapan
saya akan berfikir dewasa, kapan saya bisa menerima. Waktu akan terus berjalan,
hidup saya akan terus tergerus habis, orang tua saya pun tetap akan menua. Saya
memilih untuk lebih bijak menerima. Karena sesulit apapun, penerimaan itu jauh
lebih sulit.
Bergelutnya
saya dan kontradiksi dengan orang tua saya menyadarkan saya satu hal, merubah
pemikiran dan sikap saya, betapa baru saya sadari kalau kedua orang tua saya
begitu sayang kepada saya. Saya menyadari belum dapat memberi apa-apa, bahkan
kebahagiaanpun belum mampu saya berikan kepada mereka.
Hanya
saja, saya tidak mau kalah dalam hal mencintai. Saya ingin mencintai dan
menyayangi mereka lebih besar dari apapun. Walaupun saya tahu, rasa cinta dan
sayang kedua orang tua tidak akan mampu dikalahkan anaknya. Tapi paling tidak,
saya telah berusaha.
Segala
nasihat orang tua kepada anaknya selalu baik. Orang tua selalu ingin yang
terbaik untuk anak-anaknya. Solusi dalam kontradiksi antara anak dengan orang
tua adalah komunikasi dan interaksi. Saling terjemah dan menterjemahkan. Berdiskusilah
tanpa melampaui pilar-pilar hakiki antara orang tua dan anak, yaitu anak tidak
boleh menyakiti hati orang tua. Berbahagialah bagi yang orang tuanya masih
hidup. Kemanapun pergi, mintalah restu kepada orang tua, karena restu orang tua
adalah restu Allah.
“Ya
Allah, rendahkanlah suaraku di mata mereka, indahkan bicaraku dimata mereka,
lembutkan tingkah lakuku di mata mereka, rindukan mereka akan hatiku,
jadikanlah aku orang yang mengasihi dan menyayangi mereka. Ya Allah, berikan
pahala kepada mereka atas upaya mereka mendidikku, limpahkan karunia-Mu atas
pemberian mereka padaku, dan jagalah mereka sebagaimana mereka menjagaku semasa
aku kecil”
0 komentar:
Silakan Bekomentar.!!!
Semakin banyak berkomentar, semakin banyak backlink, semakin cinta Search Engine terhadap blog anda
Posting Komentar