Rabu, 15 Oktober 2014

Seberapa Sayang?



Terinspirasi dari kuliah Filsafat Ilmu oleh Pak Prof. Dr. Marsigit, M.A pada Kamis, 2 Oktober 2014

Saya baru mempelajari mata kuliah Filsafat Ilmu beberapa hari, sebelumnya saat S1 dulu saya tidak pernah belajar Filsafat Ilmu. Saat pertama kali masuk mata kuliah Filsafat Ilmu, saya cukup kaget dengan cara mengajar Pak Marsigit. Beliau begitu berbeda dengan dosen kebanyakan. Dari cara berbicaranya dan bertingkah laku. Apalagi saat membuka blog beliau, luar biasa. Tulisan-tulisan beliau begitu bermacam-macam dan banyak. Belum lagi satu hal, sulit dipahami.

Pak Marsigit bernah berkata, ”Berfilsafat itu adalah ketika seorang mahasiswa membaca elegi-elegi sekaligus membuat komentar. Karena dengan membaca dan membuat komentar, secara tidak langsung akan memberi arti dalam belajar filsafat”
Berusaha sekeras apapun memahami filsafat, sulit sekali. Karena ternyata jangan berusaha memahami filsafat, tidak akan bisa. Tidak akan bisa menyamai persepsi tentang filsafat antara satu manusia dengan manusia lain. Karena filsafat itu ada dalam diri dan pikiran masing-masing. Jika ingin memahami filsafat, maka pahamilah diri dan pikiranmu sendiri.

Pak Marsigit tidak mau menerangkan secara langsung tentang maksud elegi-elegi yang beliau tulis di blognya karena menurut beliau hal ini akan menjadi berbeda fungsinya. Beliau khawatir mahasiswanya akan tertimpa bayang-bayangnya. Mahasiswa menjadi tidak independent, tidak mandiri, tidak mampu membangun filsafat. Karena filsafat adalah pikiran setiap manusia. “Bagaimana mengandaikan pikiranmu kepadaku”.

Suatu hari saat sedang kuliah Filsafat Ilmu, salah seorang teman bertanya tentang hubungan kontradiksi antara orang tua dengan anaknya. Kontradiksi meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Manusia tidak akan pernah terbebas dari kontradiksi. Jika ingin terbebas dari kontradiksi, hiduplah dalam pengandaian atau cepat-cepat menuju akhirat. Belajar filsafat meminta kita untuk sensitif terhadap ruang dan waktu. Manfaat belajar filsafat adalah memahami bahwa hidup ini kontradiksi.

Pertanyaan teman ini mengingatkan saya tentang kedua orang tua saya yang sekarang terpisah jarak, berbeda ruang dan waktu yang dengan saya.  Ah saya begitu kangen dengan beliau-beliau. Teringat lagi saat-saat kebersamaan bersama kedua orang tua. Maklum saja, ini kali pertama saya hidup jauh dari orang tua. Ini pertama kalinya saya merantau ke negeri orang.

Awalnya, saya pun sering mengalami kontradiksi dengan kedua orang tua. Apa yang saya inginkan, sering kali berbeda dengan keinginan kedua orang tua. Apa yang saya pikirkan, berbeda dengan pikiran kedua orang tua. Kadang saya akui, saya masih terlalu kekanak-kanakan dan belum dewasa saat menghadapi orang tua saya. Saya masih egois dan belum bisa berpikir kedepan. Saya selalu merasa bahwa hidup saya adalah hidup saya, bukan hidup kedua orang tua saya.
Namun waktu adalah pak tua yang cuma diam mengamati, angkuh memegangi bandul yang detiknya tak berkompromi. Kata-kata Dewi Lestari itu meyadarkan saya, kapan saya akan berfikir dewasa, kapan saya bisa menerima. Waktu akan terus berjalan, hidup saya akan terus tergerus habis, orang tua saya pun tetap akan menua. Saya memilih untuk lebih bijak menerima. Karena sesulit apapun, penerimaan itu jauh lebih sulit.

Bergelutnya saya dan kontradiksi dengan orang tua saya menyadarkan saya satu hal, merubah pemikiran dan sikap saya, betapa baru saya sadari kalau kedua orang tua saya begitu sayang kepada saya. Saya menyadari belum dapat memberi apa-apa, bahkan kebahagiaanpun belum mampu saya berikan kepada mereka.
Hanya saja, saya tidak mau kalah dalam hal mencintai. Saya ingin mencintai dan menyayangi mereka lebih besar dari apapun. Walaupun saya tahu, rasa cinta dan sayang kedua orang tua tidak akan mampu dikalahkan anaknya. Tapi paling tidak, saya telah berusaha.

Segala nasihat orang tua kepada anaknya selalu baik. Orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Solusi dalam kontradiksi antara anak dengan orang tua adalah komunikasi dan interaksi. Saling terjemah dan menterjemahkan. Berdiskusilah tanpa melampaui pilar-pilar hakiki antara orang tua dan anak, yaitu anak tidak boleh menyakiti hati orang tua. Berbahagialah bagi yang orang tuanya masih hidup. Kemanapun pergi, mintalah restu kepada orang tua, karena restu orang tua adalah restu Allah.

“Ya Allah, rendahkanlah suaraku di mata mereka, indahkan bicaraku dimata mereka, lembutkan tingkah lakuku di mata mereka, rindukan mereka akan hatiku, jadikanlah aku orang yang mengasihi dan menyayangi mereka. Ya Allah, berikan pahala kepada mereka atas upaya mereka mendidikku, limpahkan karunia-Mu atas pemberian mereka padaku, dan jagalah mereka sebagaimana mereka menjagaku semasa aku kecil”

0 komentar:


Silakan Bekomentar.!!!


Semakin banyak berkomentar, semakin banyak backlink, semakin cinta Search Engine terhadap blog anda
:a:
:b:
:c:
:1: :2: :3: :4: :5: :6:
:7: :8: :9: :10: :11: :12:

Posting Komentar