Rabu, 29 Oktober 2014

Seberapa Konsistenkah Dirimu?



Terinspirasi dari perkuliahan Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. Marsigit, M. A. pada hari kamis, 23 Oktober 2014

Saya ingat cerita seorang dosen Metodelogi Penelitian, pada suatu pagi yang tenang. Beliau bercerita tentang seorang Kyai yang selalu berdzikir dimanapun ia berada, entah itu di saat pengajian, saat di rumah, atau saat duduk menunggu di airport. Ketika beliau bertanya pada sang Kyai, mengapa selalu berdzikir? Sang Kyai menjawab sembari tersenyum, “Daripada mulut saya mengatakan atau bahkan membicarakan hal yang tidak penting seperti menggosip, bukankah lebih baik saya berdzikir?”.
Subhanallah.  Semoga saya dan yang (mungkin) membaca dapat segera meniru hal positif dari sang Kyai. Aamiin.

Nah, kekonsistenan sang Kyai dalam berdzikir ini tentulah tidak serta merta terjadi pada sang Kyai. Saya yakin dan percaya, ada proses yang terjadi hingga akhirnya, sang Kyai konsisten untuk selalu berdzikir dimanapun ia berkesempatan melakukannya. Proses dari yang semula tidak pernah menjadi rutin dilakukan inilah yang sangat sulit untuk dilakukan. Makanya, menghargai proses dalam hidup ini sangatlah bijaksana daripada bertolak pada hasil semata.

Hal lain yang akan saya contohkan adalah cerita tentang kekonsistenan seorang teman yang selalu komentar blog Pak Marsigit per harinya 5 komentar. Saya sempat malu jika dibandingkan dengan saya yang belum mencapai sepertiga dari target yang diberikan. Ketika saya bertanya bagaimana cara ia konsisten melakukannya? Ia menjawab bahwa ia selalu komentar setiap hari selesai sholat subuh. Katanya, waktu pagi hari itu, pikiran terasa segar dan semangat untuk membaca elegi-elegi yang Pak Marsigit tulis. Untuk kedua kalinya saya merasa malu mengingat saat-saat ba’da subuh adalah saat-saat saya kembali naik ke atas kasur dan tidur lagi.

Kekonsistenan sang Kyai yang selalu berdzikir dan teman saya yang selalu komentar perharinya 5 komentar merupakan salah satu bentuk tetap yang mereka pegang teguh dalam melaksanakannya. Tentulah banyak godaan dalam melakukannya. Dalam filsafat, kekonsistenan pada hakikatnya tidak ada. Mengapa dianggap tidak ada? Saya akan ambil contoh lain.
Masih memberi contoh nyata dari pengalaman berkomentar blog Pak Marsigit. Seorang teman dekat saya, selalu menyempatkan diri untuk berkomentar setiap harinya. Bedanya dengan teman saya yang sebelumnya, teman dekat saya ini tidak mematok harus komentar berapa banyak perharinya. Ia hanya konsisten untuk selalu komentar setiap harinya. Memang, kekonsistenannya ini membuahkan hasil, terbukti dengan jumlah komentarnya yang (lagi-lagi) lebih banyak dari saya (yang malas ini). Namun suatu ketika, datang rasa malas dan enggan dalam dirinya untuk membuka blog Pak Marsigit dan kembali berelegi. Alasannya sepele, “Lagi jenuh”. 

Inilah salah satu alasan mengapa dikatakan bahwa kekonsistenan itu dekat sekali jaraknya dengan tidak konsisten. Banyak faktor yang memperngaruhi kekonsistenan seseorang dapat luntur. Satu-satunya penguat hanya niat yang kuat dan pikiran yang selalu mengendalikan hati untuk dapat menjalani kekonsistenan itu sendiri. Kekonsistenan tidak serta merta dapat dilakukan, mulailah dengan membiasakan diri. Dengan adanya pembiasaan diri, Insha Allah kita belajar untuk menjadi konsisten menjalani sesuatu.
Semoga kita dapat membiasakan diri dan menajadi pribadi yang lebih baik lagi. Aamiin.

0 komentar:


Silakan Bekomentar.!!!


Semakin banyak berkomentar, semakin banyak backlink, semakin cinta Search Engine terhadap blog anda
:a:
:b:
:c:
:1: :2: :3: :4: :5: :6:
:7: :8: :9: :10: :11: :12:

Posting Komentar