Terinspirasi dari perkuliahan Filsafat Ilmu oleh Prof. Dr. Marsigit,
M. A. pada hari kamis, 23 Oktober 2014
Saya
ingat cerita seorang dosen Metodelogi Penelitian, pada suatu pagi yang tenang.
Beliau bercerita tentang seorang Kyai yang selalu berdzikir dimanapun ia
berada, entah itu di saat pengajian, saat di rumah, atau saat duduk menunggu di
airport. Ketika beliau bertanya pada sang Kyai, mengapa selalu berdzikir? Sang
Kyai menjawab sembari tersenyum, “Daripada mulut saya mengatakan atau bahkan
membicarakan hal yang tidak penting seperti menggosip, bukankah lebih baik saya
berdzikir?”.
Subhanallah.
Semoga saya dan yang (mungkin) membaca
dapat segera meniru hal positif dari sang Kyai. Aamiin.
Nah,
kekonsistenan sang Kyai dalam berdzikir ini tentulah tidak serta merta terjadi
pada sang Kyai. Saya yakin dan percaya, ada proses yang terjadi hingga
akhirnya, sang Kyai konsisten untuk selalu berdzikir dimanapun ia berkesempatan
melakukannya. Proses dari yang semula tidak pernah menjadi rutin dilakukan
inilah yang sangat sulit untuk dilakukan. Makanya, menghargai proses dalam
hidup ini sangatlah bijaksana daripada bertolak pada hasil semata.
Hal lain
yang akan saya contohkan adalah cerita tentang kekonsistenan seorang teman yang
selalu komentar blog Pak Marsigit per harinya 5 komentar. Saya sempat malu jika
dibandingkan dengan saya yang belum mencapai sepertiga dari target yang
diberikan. Ketika saya bertanya bagaimana cara ia konsisten melakukannya? Ia
menjawab bahwa ia selalu komentar setiap hari selesai sholat subuh. Katanya,
waktu pagi hari itu, pikiran terasa segar dan semangat untuk membaca
elegi-elegi yang Pak Marsigit tulis. Untuk kedua kalinya saya merasa malu
mengingat saat-saat ba’da subuh adalah saat-saat saya kembali naik ke atas
kasur dan tidur lagi.
Kekonsistenan
sang Kyai yang selalu berdzikir dan teman saya yang selalu komentar perharinya
5 komentar merupakan salah satu bentuk tetap yang mereka pegang teguh dalam
melaksanakannya. Tentulah banyak godaan dalam melakukannya. Dalam filsafat, kekonsistenan
pada hakikatnya tidak ada. Mengapa dianggap tidak ada? Saya akan ambil contoh
lain.
Masih
memberi contoh nyata dari pengalaman berkomentar blog Pak Marsigit. Seorang teman
dekat saya, selalu menyempatkan diri untuk berkomentar setiap harinya. Bedanya dengan
teman saya yang sebelumnya, teman dekat saya ini tidak mematok harus komentar
berapa banyak perharinya. Ia hanya konsisten untuk selalu komentar setiap
harinya. Memang, kekonsistenannya ini membuahkan hasil, terbukti dengan jumlah
komentarnya yang (lagi-lagi) lebih banyak dari saya (yang malas ini). Namun
suatu ketika, datang rasa malas dan enggan dalam dirinya untuk membuka blog Pak
Marsigit dan kembali berelegi. Alasannya sepele, “Lagi jenuh”.
Inilah
salah satu alasan mengapa dikatakan bahwa kekonsistenan itu dekat sekali
jaraknya dengan tidak konsisten. Banyak faktor yang memperngaruhi kekonsistenan
seseorang dapat luntur. Satu-satunya penguat hanya niat yang kuat dan pikiran
yang selalu mengendalikan hati untuk dapat menjalani kekonsistenan itu sendiri.
Kekonsistenan tidak serta merta dapat dilakukan, mulailah dengan membiasakan
diri. Dengan adanya pembiasaan diri, Insha Allah kita belajar untuk menjadi
konsisten menjalani sesuatu.
Semoga
kita dapat membiasakan diri dan menajadi pribadi yang lebih baik lagi. Aamiin.
0 komentar:
Silakan Bekomentar.!!!
Semakin banyak berkomentar, semakin banyak backlink, semakin cinta Search Engine terhadap blog anda
Posting Komentar